Dikutip Dari Kitab Tadzkiratul Auliya - Syaikh Fariduddin Aththar
Abu
Yazid Thaifur ibnu 'Isa ibnu Surusyan al-Bisthami, cucu seorang
Zoroastrian (penganut Zoroastrianisme/ajaran Zoroaster), lahir di
Bistham di timur laut Persia, di sana pula ia wafat pada tahun 261 H/874
M atau 264/877 M, dan hingga kini makamnya masih ada. Ia adalah pionir
aliran ekstatik ("mabuk") dalam sufisme. Ia dikenal karena keberaniannya
dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada ketuhanan. Ia
sangat mempengaruhi pandangan para sufi yang hidup setelah masanya,
terutama dengan penggambarannya tentang perjalanan menuju surga (sebagai
imitasi mi'raj-nya Rasulullah Muhammad saw.). Ayahnya adalah salah
seorang yang terpandang di kota Bistham.
Riwayat
kehidupan Abu Yazid yang luar biasa dimulai sejak ia masih berada dalam
kandungan ibunya.Ibunya berkata padanya, "Setiap kali ibu memasukkan
makanan yang syubhat ke mulut ibu, engkau meronta ronta dalam kandungan
dan tak mau diam sampai ibu mengeluarkan makanan itu dari mulut
ibu."Pernyataan ini dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
lbunya
menyekolahkannya. Di sekolah, Abu yazid mempelajari Al-Quran. Suatu
hari, gurunya menjelaskan makna salah satu ayat di surah Luqman:
"Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tuamu." Ayat ini
menggetarkan hati Abu Yazid."Guru," katanya seraya meletakkan buku
catatannya, "izinkanlah aku untuk pulang dan mengatakan sesuatu kepada
ibuku."Gurunya mengizinkannya, dan Abu Yazid pun bergegas pulang."Ada
apa, Thaifur," pekik ibunya, "mengapa engkau pulang? Apa mereka
memberimu hadiah, atau ada acara khusus.""Tidak," Jawab Abu Yazid.
"Pelajaranku telah sampai kepada ayat di mana Allah memerintahkan aku
untuk mengabdi kepada Nya dan kepada Ibu. Aku tidak akan sanggup
melaksanakan keduanya sekaligus. Ayat ini menggetarkan hatiku. Hanya ada
dua pilihan: lbu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik lbu
sepenuhnya, atau lbu menyerahkanku kepada Allah agar aku dapat
sepenuhnya bersama-Nya." Suatu malam, ibuku memintaku untuk
mengambilkannya air minum. Aku bergegas mengambilkan air minum untuknya,
namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil kendi, namun kendi ini
juga kosong. maka aku pun pergi ke sungai dan mengisi kendi dengan air.
Ketika aku kembali ke rumah, ibuku telah tertidur.Malam itu udara begitu
dingin. Aku memegang teko dengan tanganku. Ketika ibuku terbangun, ia
pun minum dan mendoakanku. Lalu ia melihat bahwa teko itu membuat
tanganku membeku kedinginan.'Mengapa tak engkau letakkan saja teko itu?'
tanya ibuku."Aku takut tatkala lbu terbangun, aku tidak ada di sisi
Ibu,' jawabku.
Setelah
ibunya menyerahkannya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bistham dan
selama tiga puluh tahun berkelana dari satu daerah ke daerah lain,
mendisiplinkan dirinya dengan ibadah dan rasa lapar yang sinambung. Ia
mendatangi 113 pembimbing spiritual dan mengambil manfaat dari mereka
semua. Di antara mereka ada yang dijuluki Ash-Shadiq (Imam Ja'far as
Shadiq). Abu Yazid sedang duduk ketika gurunya itu tiba-tiba berkata,
"Abu Yazid, ambilkan aku buku dari jendela itu."“Jendela? jendela yang
mana?" tanya Abu Yazid. Gurunya balik bertanya, "Selama ini engkau
selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela
itu?"“Tidak pernah," jawab Abu Yazid. "Apa urusanku dengan jendela?
Ketika aku berada dihadapanmu, aku menutup mataku dari hal hal lain. Aku
datang kepadamu bukan untuk melihat lihat.""Kalau begitu," kata sang
guru, "pulanglah ke Bistham. Usahamu telah sempurna."
Abu
Yazid diberi tahu bahwa di suatu tempat tinggallah seorang guru besar.
Abu Yazid jauh-jauh datang untuk menemuinya. Ketika ia mendekat, ia
melihat sang guru kondang itu meludah ke atas kiblat. Abu Yazid seketika
itu pula bergegas kembali pulang. Ia berujar, “Jika ia memiliki ilmu
sedikit saja, ia tidak akan pernah melecehkan-Nya."Dalam kaitannya
dengan hal ini, dikatakan bahwa rumah Abu Yazid terletak sekitar empat
puluh langkah dari sebuah masjid, dan ia tidak pernah sekali pun meludah
di jalan demi menghormati masjid itu.
Abu
Yazid membutuhkan waktu dua belas tahun penuh untuk tiba ke Ka'bah. Itu
karena di setiap melewati tempat ibadah yang ia lalui, ia selalu
membentangkan sajadahnya dan mendirikan salat dua rakaat."Tempat ibadah
ini bukanlah serambi istana para raja duniawi, di mana orang dapat lewat
kesana-kemari dengan seenaknya," katanya.Akhirnya, ia sampai juga di
Ka'bah, tapi tahun itu ia tidak pergi ke Madinah."Tidaklah pantas
menjadikan kunjungan ke Madinah sebagai sekadar bagian dari kunjunganku
kali ini," ia menjelaskan. "Aku akan mengenakan pakaian haji tersendiri,
bukan yang kupakai saat ini, untuk kunjunganku ke Madinah."Tahun
berikutnya, ia kembali, mengenakan pakaian haji tersendiri. Di suatu
kota, ia berpapasan dengan sekelompok besar orang yang kemudian menjadi
para muridnya. Ketika ia pergi, orang-orang itu mengikutinya."Siapa
mereka?" tanyanya sambil menengok ke belakang. Terdengarlah jawaban,
"Mereka ingin menemanimu.""Ya Allah!" pekik Abu Yazid. "Aku mohon
pada-Mu, jangan jadikan aku selubung antara para hambaMu dan
diri-Mu!"Lalu dengan tujuan menghapus kecintaan orang-orang itu
kepadanya dan agar dirinya tidak Menjadi penghalang dijalan mereka
(menuju Allah) setelah salat Subuh, Abu Yazid memandang mereka dan
berkata, "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku.""Dia sudah gila" pekik orang-orang itu. Dan mereka
pun pergi meninggalkan Abu Yazid.Abu Yazid menyusuri jalannya. Di
perjalanan, ia menemukan tengkorak yang bertuliskan: "Tuli, Bisu, dan
buta, maka mereka tidak mengerti."Ia memungut tengkorak itu, dan sambil
menangis ia menciumnya."Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi yang
dibinasakan Allah, karena ia tidak memiliki telinga untuk mendengar
suara abadi, tidak memiliki mata untuk melihat keindahan abadi, tidak
memiliki lidah untuk mengagungkan kebesaran Allah, tidak memiliki akal
untuk memahami sedikit saja dari pengetahuan hakiki Allah. Ayat ini
berbicara tentangnya."
Setelah
Abu Yazid mengunjungi Madinah, ia melihat perintah untuk kembali guna
merawat ibunya. Ia pun segera bertolak menuju Bistham, diiringi oleh
sekelompok orang. Berita kembalinya Abu Yazid tersebar ke seluruh kota
Bistham, dan masyarakat Bistham pun keluar menuju perbatasan kota untuk
menyambutnya. Abu Yazid tampak sangat disibukkan oleh perhatian yang
ditunjukkan masyarakat Bistham, sehingga ia khawatir hal itu akan
mencegahnya dari Allah. Ketika mereka mendekatinya, ia mengeluarkan roti
dari lengan bajunya. Saat ini bulan Ramadlan, namun Abu Yazid malah
berdiri dan makan roti. Seketika setelah masyarakat Bistham melihat hal
ini, mereka pun meninggalkan Abu Yazid. "Tidakkah kalian lihat?" Abu
Yazid berkata pada para muridnya. "Aku menaati aturan agama, namun
masyarakat malah menolakku."Ia menunggu dengan sabar hingga malam tiba.
Pada tengah malam, ia memasuki kota Bistham dan menuju ke rumah ibunya.
Di sana, ia berdiri dan mendengar suara ibunya berwudlu dan berdoa."Ya
Allah, jagalah orang buangan kita (maksudnya Abu Yazid). Buatlah hati
para syekh (guru spiritual) cenderung padanya, dan berikanlah ia
petunjuk agar dapat melakukan segalanya dengan baik."Abu Yazid menangis
ketika ia mendengar kata-kata ini. Kemudian ia mengetuk pintu."Siapa
itu?" pekik ibunya."Orang buanganmu," jawab Abu Yazid.Sambil menangis,
sang ibu membuka pintu. Pandangan matanya tampak suram."Thaifur," kata
sang ibu pada anaknya, "tahukah engkau apa yang telah menyuramkan
pandangan mataku? Tangisan. Aku kerap menangis selama terpisah darimu,
dan punggung ibu bungkuk dua kali lipat karena menanggung beban
kesedihan."
Abu
Yazid mengisahkan sebagai berikut: “Aku memandang Allah dengan mata
keyakinan setelah Dia mengangkatku ke derajat kemerdekaan dari semua
makhluk dan setelah Dia memberikan pencerahan padaku dengan cahaya-Nya,
menyingkap padaku rahasia rahasia-Nya yang menakjubkan dan
memanifestasikan padaku kebesaran ke-'Dia'-an-Nya. Kemudian aku
memandang diriku sendiri, dan merenungkan dalam dalam rahasia-rahasia
dan sifat-sifatku.
Cahayaku
adalah kegelapan di sisi cahaya-Nya; kebesaranku menyusut dan menjadi
keburukan di sisi kebesaranNya; kemuliaanku hanyalah kesombongan di sisi
kemuliaan-Nya. Milik-Nya lah segala kesucian, dan milikkulah segala
kekotoran.Saat aku memandang lagi, aku melihat keberadaanku berasal dari
cahaya-Nya. Aku sadar bahwa kemuliaanku berasal dari kebesaran dan
kemuliaan-Nya. Apa saja yang aku lakukan, aku lakukan dengan kemampuan
yang berasal dari kemahakuasaan-Nya. Apa pun yang dilihat oleh mata
tubuh fisikku, dilihat melalui-Nya. Aku memandang dengan mata keadilan
dan realitas; semua ibadahku merupakan karunia-Nya, bukan dariku, namun
aku menyangka, bahwa akulah yang menyembah-Nya. Aku berkata, "Ya Allah,
apa ini?"Dia berkata, "Aku, dan bukan selain-Ku." Lalu Dia menjahit
mataku, agar tidak menjadi sarana untuk melihat, agar aku tidak dapat
melihat. Kemudian Dia mengajarkan akar permasalahan, yakni
ke-Dia-an-Nya, pada pandangan mataku. Dia mencerabutku dari
keberadaanku, dan membuatku abadi melalui keabadian-Nya, dan Dia
memuliakanku. Dia menyingkapkan padaku keesaan-Nya, tak terdesak oleh
keberadaanku.Allah, Sang Kebenaran, meningkatkan realitas dalam diriku.
Melalui-Nya aku memandang-Nya, dan aku memandang-Nya dalam realitas. Di
sana aku berdiam sejenak, dan aku menemukan ketenangan. Aku menutup
telinga penentangan; aku menarik lidah hasrat ke dalam tenggorok
kekecewaan. Aku mengabaikan pengetahuan yang dipelajari, dan
mengenyahkan campur tangan jiwa yang mengajak kepada keburukan. Aku
tetap diam sejenak, tanpa kelengkapan apa pun, dan dengan tangan
kesucian-Nya aku menyapu bid'ah dari jalan akar prinsip-prinsip. Allah
mengasihiku. Dia mengaruniaiku pengetahuan abadi, dan memasang lidah
kebaikan-Nya kedalam tenggorokanku. Dia menciptakan bagiku mata dari
cahaya-Nya, maka aku melihat semua makhluk melalui-Nya. Dengan lidah
kebaikan-Nya aku berkomunikasi dengan-Nya, dari pengetahuan-Nya aku
memperoleh pengetahuan, dan dengan cahaya-Nya aku memandang-Nya.Dia
berkata, "Wahai engkau yang semua tanpa semua maupun dengan semua, tanpa
kelengkapan maupun dengan kelengkapan!"
Aku
berkata, "Ya Allah, jangan biarkan aku terperdaya oleh hal ini. Jangan
biarkan aku berpuas diri dengan keberadaanku, tidak merindukan-Mu. Lebih
baik Engkau menjadi milikku tanpaku, daripada aku menjadi milikku
sendiri tanpa-Mu. Lebih baik aku berbicara pada-Mu melalui-Mu, daripada
aku berbicara pada diriku sendiri tanpa-Mu."Dia berkata, "Mulai
sekarang, perhatikanlah hukum (agama), dan janganlah melanggar perintah
serta larangan Ku, agar perjuanganmu beroleh rasa syukur Kami."Aku
berkata, "Aku telah menyatakan keimananku dan hatiku percaya dengan
teguh. Jika Engkau bersyukur, lebih baik Engkau bersyukur pada diri-Mu
sendiri daripada kepada hamba-Mu; dan jika Engkau menyalahkan,
sesungguhnya Engkau Mahasuci dari segala kesalahan." Dia berkata, "Dari
siapa engkau belajar?"Aku mengatakan, "Dia Yang mengajukan pertanyaan
lebih mengetahui daripada yang ditanya; karena Dia adalah Yang
Dirindukan sekaligus Yang Merindu, Yang Bertanya sekaligus Yang
Menjawab."Ketika Dia telah membuktikan kesucian jiwaku yang terdalam,
jiwaku mendengar suara kepuasan-Nya; Dia menyelubungiku dengan
keridhaan-Nya. Dia memberi pencerahan kepadaku, dan mengantarkanku
keluar dari kegelapan jiwa jasmani dan pelanggaran pelanggaran watak
badaniah. Aku sadar bahwa melalui-Nya-lah aku hidup; dan karena
karunia-Nya lah aku dapat menghamparkan permadani kebahagiaan dalam
hatiku.Dia berkata, "Mintalah apa saja yang engkau inginkan."Aku
mengatakan, "Aku menginginkan-Mu, karena Engkau lebih baik daripada
karunia, lebih besar daripada kedermawanan, dan melalui-Mu aku telah
menemukan kepuasan dalam diri-Mu. Karena Engkau milikku, aku telah
menggulung lembaran karunia dan kedermawanan, dan jangan cegah aku
dari-Mu, dan jangan tawarkan aku apa yang rendah di hadapan-Mu."Sejenak,
Dia tidak menjawabku. Kemudian, sambil menyematkan mahkota kemurahan
hati di kepalaku, Dia berkata, "Kebenaran yang engkau katakan, dan
realitas yang engkau cari, di dalamnya engkau telah melihat dan
mendengar kebenaran."Aku mengatakan, 'Jika aku telah melihat,
melalui-Mu-lah aku melihat. Dan jika aku telah mendengar melalui-Mu-lah
aku mendengar. Pertama Engkaulah yang mendengar, kemudian baru aku
mendengar."Dan aku memanjatkan banyak pujian kepada-Nya. Karenanya. Dia
memberiku sayap keagungan, sehingga aku dapat terbang dalam wilayah
kemuliaan dan melihat karya karya-Nya yang menakjubkan.Melihat kelemahan
dan kebutuhanku, Dia memperkuatku dengan kekuatan-Nya dan menghiasiku
dengan perhiasan-Nya.Dia menyematkan mahkota kemurahan hati dikepalaku,
dan membukakan pintu istana keesaan bagiku. Ketika Dia melihat bahwa
sifat-sifatku menjadi hampa di hadapan sifat-sifat-Nya, Dia
menganugerahiku sebuah nama dari kehadiran-Nya dan memanggilku dengan
keesaan-Nya. Ketunggalan pun mewujud, dan kejamakan pun lenyap.Dia
berkata, "Keridlaan Kami adalah keridlaanmu, dan keridlaanmu adalah
keridlaan Kami. Perkataanmu tidak memuat kekotoran, dan tak ada yang
membebanimu dalam ke-'Aku'-anmu.”Lalu Dia membuatku merasakan tikaman
kecemburuan, dan membangkitkanku lagi. Aku bangkit dalam kesucian dari
tungku ujian. Kemudian Dia berkata, "Milik siapakah kerajaan?"Aku
mengatakan, "Milik Mu."Dia berkata, "Milik siapakah perintah?"Aku
mengatakan, "Milik Mu."Dia berkata, "Milik siapakah pilihan?"Aku
mengatakan, "Milik Mu."Karena kata-kata ini sama dengan apa yang telah
Dia dengar saat perjanjian awal (zaman Azali, red), Dia berkehendak
untuk menunjukkan padaku bahwa bila tanpa kasih sayang Nya, makhluk
tidak akan pernah menemukan ketenangan; dan bahwa bila tidak karena
cinta Nya, kemahakuasaan Nya dapat menimbulkan kerusakan pada segala
hal.Dia memandangku dengan mata yang meliputi melalui perantara
ke-mahapemaksa'-an-Nya; dan sekali lagi, tak ada jejakku yang terlihat.
Dalam
kemabukanku, aku menghempaskan diriku ke setiap lembah. Aku meleburkan
tubuhku dalam setiap tungku peleburan, dalam kobaran api cemburu. Aku
memacu kuda pencarian dalam padang belantara yang luas; tak ada
permainan yang aku lihat yang lebih baik daripada kefakiran yang sangat,
tak ada sesuatu yang aku ketahui yang lebih baik daripada
ketidakmampuan absolut. Tak ada lampu yang aku lihat yang lebih terang
daripada diam, tak ada kata-kata yang aku dengar yang lebih baik
daripada kebungkaman. Aku menjadi penghuni istana kesunyian; aku
mengenakan pakaian ketabahan, hingga segala persoalan mencapai inti
mereka.Dia melihat lahir dan batinku hampa dari cacat watak badaniah.
Dia membuka celah kelegaan dalam dadaku yang kelam, dan memberiku lidah
pembebasan dan penyatuan. Maka kini aku memiliki lidah kemuliaan abadi,
hati cahaya ilahiah, dan mata karya Ilahi. Dengan pertolongan Nya aku
bicara, dengan kekuatan Nya aku menggenggam. Karena melalui-Nya aku
hidup, aku takkan pernah mati.
Karena
aku telah mencapai tingkatan ini, tandaku kekal, ekspresiku abadi,
lidahku adalah lidah penyatuan, jiwaku adalah jiwa pembebasan. Bukanlah
dariku aku bicara, aku hanya penyampai belaka; juga bukan melaluiku aku
bicara, aku hanya pengingat belaka. Dia menggerakkan lidahku sesuai
dengan kehendak-Nya, aku tiada lain hanya penerjemah belaka.
Kenyataannya, Dialah Yang berbicara, bukan aku.Kini, selelah membesarkan
aku, Dia berbicara lagi, "Para makhluk ingin melihatmu."Aku berkata,
"Aku tidak ingin melihat mereka. Namun jika Engkau berkehendak untuk
menghadirkanku ke hadapan para makhluk-Mu, aku tidak akan menentang-Mu.
Letakkan aku dalam keesaan-Mu, sehingga ketika makhluk-makhluk-Mu
melihatku dan memandang karya-Mu, mereka akan melihat Yang Mencipta, dan
aku tidak berada di sana sama sekali."Dia mengabulkan permohonanku; Dia
menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, dan membuatku melampaui
maqam watak badaniahku.Lalu Dia berkata, "Datanglah ke hadapan para
makhluk-Ku."Aku mengambil satu langkah menjauhi Yang Hadir (Allah swt.).
Pada langkah kedua, aku terjatuh seketika. Aku mendengar pekikan,
"Kembalikan kekasih-Ku, karena dia tidak bisa tanpa-Ku, dia juga tidak
mengetahui jalan keselamatan menuju Aku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar